Namrole, SBS_Diduga gunakan bahan kimia, di tambang Gunung Botak, Kecamatan Waelata, Kabupaten Buru. Pemerintah diminta untuk mencabut Izin Pertambangan Rakyat (IPR) 10 koperasi.
"Sebagai anak adat meminta kepada pemerintah, sebaiknya IPR 10 koperasi dicabut, karena diduga mengunakan bahan kimia yang tentunya berdampak pencemaran lingkungan dan tak mengantongi pelepasan hak ulayat " kata Sami Latbual, kepada wartawan, Selasa, 8 Juli 2025, di Namrole.
Dia mengatakan pencabutan IPR itu ada beberapa alasan. Alasan yang pertama dilihat dari berbagai pemberitaan media rapat antara komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Buru dengan 10 koperasi yang dipublikasi oleh media, disitu terungkap 10 Koperasi ini diduga kuat belum mengantongi ijin dari pemegang hak ulayat atau pelepasan hak dari pemilik hak ulayat.
"Ada pemberitaan media pada saat kunjungan ketua dan anggota DPRD di situ ada perwakilan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) ditemukan bahwa ada sistem pekerjaan koperasi yang menggunakan bahan kimia sianida. Jika pernyataan anggota DPRD itu benar maka mesti koperasi-koperasi dimaksud ditinjau karena sistem koperasi itu adalah menciptakan sistem pengolahan ramah lingkungan, " tutur Sami.
Dia mengatakan, sesungguhnya salah satu syarat mutlak untuk diterbitkannya sebuah IPR, adalah pelepasan hak dari pemegang hak ulayat, seperti Nurlatu dan Besan.
Hal ini untuk menghindari saling komplain paska ijin itu keluar yang kedua menjaga keutuhan dan rasa solidaritas sesama masyarakat secara umum maupun masyarakat adat itu sendiri.
"Pertanyaannya adalah ketika dari pertemuan terungkap mereka belum mengantongi pelepasan hak ulayat dari masyarakat adat, apa yang mereka bawa sehingga IPR itu keluar, " ujar Latbual.
Dia menyebut, ada dua kemungkinan, yang pertama mereka paksakan ini dikeluarkan tanpa adanya hak ulayat kalau itu ada maka diduga kuat ada spekulasi.
"Yang berikut ada jedah waktu paska dikeluarkannya ijin itu. perusahaan harus beraktivitas, tapi sejuah ini aktivitas koperasi secara resmi belum dilakukan. Ini mesti sudah ditinjau, " kata sarjana hukum ini.
Dia menuturkan, mestinya ada laporan berkala dari koperasi kepada dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku tapi selama ini belum dilakukan ini harus dilihat oleh pemerintah.
Yang terpenting adalah menghindari gesekan diantara sesama masyarakat adat. sangat ironisnya kalau pemegang waris hak ulayat tidak mendapat bagian dalam koperasi itu kita ambil contoh keluarga Nurlatu dan Besan.
Latbual menjelaskan, Nurlatu dan Besan punya hak mutlak tapi satu pun koperasinya tidak di akomodir. Bicara azaz pemerataan keadilan, ini tidak dapat, sementara koperasi lain yang notabene ahli waris pemiliknya diduga bukan masyarakat adat, tapi mereka mengantongi sementara masyarakat adat sekaligus sebagai pemilik ahli waris tidak kebagian.
"Kami minta pemerintah dalam hal ini mesti ada azas keadilan pemetaan. Dilihat dari ruang-ruang celah tadi maka izin dari 10 koperasi ini untuk dicabut atau diketahui oleh pemerintah untuk diproses ulang seperti yang telah saya sampaikan, " ucap Latbual.
Ia menyebut dampak dari penerbitan IPR saat ini adalah membuat masyarakat tidak solid. Saat ini di lapangan terjadi gesekan antara yang dapat dan yang tidak dapat. Apa artinya pemerintah melahirkan sesuatu yang pada akhirnya membuat masyarakat tidak solid ini, maka itu butuh konsolidasi ulang entah itu dari pihak pemerintah maupun pihak manapun terhadap keberadaan Koperasi itu sendiri.
"Implikasi lainnya adalah berpotensi terjadinya kerusakan lingkungan, maka kami berharap kepada ketua, pimpinan DPRD Kabupaten Buru. Sebagai DPRD yang memiliki legalitas resmi secara hukum mesti bertindak mengeluarkan rekomendasi resmi kepada pemerintah terkait dengan keberadaan koperasi yang diduga kuat menggunakan bahan kimia
Untuk itu kami menantang DPRD Kabupaten Buru untuk bertindak Sehingga DPRD itu punya Marwah dan kita hindari perpecahan, " ujar Latbual. (Yul)
Post a Comment
Mohon berkomentar dengan attitude yang baik...
Dilarang menggunakan Anonymous !!!